Sabtu, 14 Desember 2013

Cerita Pernikahan (2)




Cerita kedua, dari seorang teman guru sebut saja Pak W, beliau adalah sosok yang saya kagumi. Entah untuk alasan apa, apa karena beliau cerdas? Kompeten? Atau karena apa? 

Sampai pada suatu siang, di jam istirahat beliau cerita tentang bagaimana awal pernikahannya..

Pak W dan istri  bertemu pada saat ada program KKN kampus, Pak W jurusan Teknik Mesin dan istrinya Ekonomi Pembangunan. Interaksi selama KKN menumbuhkan rasa-rasa yang sulit dimengerti, kebanyakan orang menyebutnya cinta. Pada saat menikah usia Pak W 24 tahun. Usia 24 adalah usia yang cukup muda untuk seorang laki-laki  menikah, menurut saya. 
Pak W yang pada saat itu mengambil jurusan Teknik Mesin murni akhirnya memilih kuliah lagi ambil akta 4, agar bisa ngajar. Karirnya dimulaai dari menjadi seorang GTT, ketika beliau menikah pun masih menjadi GTT dengan gaji sekitar Rp 100 rban.

Saya tanya, kok Bisa ya Pak? Kenapa Bapak begitu yakin untuk menikah dengan gaji yang terbatas? Beliau sampaikan, yak karena ingin menikah saja. Bismillah saja. Subhannallah…betapa beliau begitu mantap mengambil keputusan itu. 

Setelah menikah rasanya pintu rezeki terbuka begitu lebar, beberapa tahun setelah menikah ada pengangkatan Pegawai Negeri dan Alhamdulillah diangkat. Saat itu juga beliau mulai dikarunia anak pertama, yang sekarang sudah di kelas 2 SD. Beberapa tahun setelah pengangkatan, mulailah ada kabar sertifikasi. Beliau pun segera mempersiapkan berkas-berkas sertifikasi guru. Sebelum dinyatakan lulus sertifikasi, beliau sudah mengambil kuliah Master Pendidikan. Kenapa?  Karena beliau mendapat informasi, kalau guru PN (yang sudah sertifikasi atau belum, lebih jelasnya saya lupa) harus lulus S2, kalau tidak, maka di usia 50 tahun ia akan dipensiun. Ya, lebih awal dari usia jabatan seharusnya.

Heuheu…rasanya mantap sekali, apapun keputusan yang beliau ambil. Sampai sekarang beliau masih berkepala 3 tapi sudah menjadi guru sertifikasi, master pendidikan, dosen di salah satu universitas swasta. Oia beliau juga sempat cerita kalo pernah ikut seleksi magang di Jepang. 
Hmm, kenapa saya jadi cerita karir beliau ya? Hehehe. Back to topic dah…

Intinya, ketika beliau menikah, yang dibutuhkan adalah keyakinan. Yakin untuk menikah. Yakin untuk mengambil keputusan. Walaupun tak selamanya mulus, tapi yakin akan selalu ada jalan.



Sebenarnya ada banyak cerita pernikahan di sekitar saya, tapi dua cerita tadi yang masih segar dalam ingatan saya. Ya…karena belum lama saya dapatkan :D


Keyakinan

Itulah yang saya simpulkan dari 2 cerita sebelumnya dan beberapa cerita yang tidak saya tulis, bahwa orang memutuskan dan mempertahankan menikah karena sama keyakinan. Ini bukan keyakinan agama ya,kalau soal itu WAJIB sama. Tapi keyakinan bahwa sama-sama akan bahagia, yakin untuk kehidupan yang lebih baik, yakin akan mampu membahagiakan pasangan. Yakin mampu menghadapi setiap rintangan dengan pasangan. Yakin.

Keyakinan ini bisa timbul karena adanya presepsi yang sama akan suatu hal, istilahnya kesamaan visi. Karena kita sevisi.  Bisa juga karena melihat sifat atau sikap yang membuat kita yakin, misalnya sikapnya yang bertanggung jawab pada tugas. Atau mungkin tanpa alasan yang jelas, ketika bertemu yakin saja, nggak tahu kenapa udah yakin aja. Feeling. Keyakinan atas nama Tuhan rasanya lebih utama, bahwa pernikahan adalah salah satu cara untuk menjalankan syariat-Nya. Keyakinan yang datangnya dari hati yang bersih, sehingga mudah bagi Tuhan untuk memberikan petunjuk. Mudah bagi Tuhan menyisipkan macam-macam rasa kepada hambanya, tak kecuali rasa yakin.


Membahagiakan

Keyakinan untuk bisa saling membahagiakan, bukan hanya ingin dibahagiakan. Ketika tak ada hal itu, berarti beda 'keyakinan' donk... Kalau beda 'keyakinan' susah jalannya. Hohoho. Untuk saat ini, begitu pemahaman saya..  :D
Dasar untuk menikah adalah keyakinan untuk mampu saling membahagiakan, lebih spesifik lagi,   
bahagia dunia maupun akhirat..:)




Sabtu, 07 Desember 2013

Cerita Pernikahan (1)




 “Bu Indah nikahnya kapan?”
“ Eh, kapan nyusul ndah?”
 “Kapan gantian dijagongi?”

Betapa sering kata-kata itu mendarat di telinga saya, entah di rumah, di sekolah, di komunitas… rasanya heuheu banget…. Setelah masalah kuliah, kerja selanjutnya adalah kata “nikah’lah yang sering ditanyakan. It’s normal, secara umur 20an keatas memang sudah hal yang biasa untuk membahas dan rasanya memang sudah saatnya.. :)

Disini saya tidak akan membahas kapan saya akan menikah, dengan siapa, bagaimana konsep pernikahan saya *hauah, berasa artis konferensi pers* tapi tentang beberapa cerita pernikahan orang-orang di sekitar saya dan apa alasan mereka menikah. Kalau cerita Habibie-Ainun kan sudah banyak yang tahu, tapi di tulisan ini saya akan menuangkan yang ada di sekitar saya. Ya.. hikmah-hikmah yang bisa diambil, setidaknya itu menjadi bekal kita bersama ketika sudah benar-benar siap untuk menikah :)

Cerita pertama, datang dari seorang dosen saya, sebut saja Bu E. Bu E ini memulai biduk pernikahan ketika usianya hampir kepala 3, ya… karena beliau sebelumnya konsen untuk karir. Ketika masih kepala 2 beliau sering dicomblangkan oleh keluarganya mulai dari yang pegawai sampai dokter. Tapi dari sekian banyak yang dicombalngin, atau calon pelamar yang datang hampir setiap minggu tidak ada yang nempel di hati. Tau kenapa? Ya namanya hati… kalo nggak suka, mau pangkatnya setinggi apapun, gelarnya sepanjang apapun, kalo nggak suka ya nggak suka… hehehe.

Ternyata oh ternyata hati beliau sudah nempel di satu dinding, dinding hatinya Pak G. Mereka teman satu SMA, jaman-jaman sekolah sih belum ada tanda-tanda suka, tapi ketika kuliah baru ada ‘something special’.

Mereka pacaran bertahun-tahun, dan akhirnya menikah, saat itu Pak G belum memiliki pekerjaan tetap, Bu E pun masih jadi dosen di PT swasta. Tapi dengan penuh keikhlasan dan ketulusan mereka menjalani hari-hari dengan penuh cinta. Kalau pun ada cekcok masih dalam batas wajar, pernah suatu ketika Bu E dan Pak G sedang mengalami masa-masa pailit, di rumah tak ada satu bulir pun beras. Sampai-sampai 1 bulan itu mereka makan dengan mie instan. Heuheu banget deh. Sepertinya semua terbalas dengan beliau sudah menjadi dosen tetap dan suaminya sudah bekerja di kantor pemerintahan.

Lalu, saya bertanya apa yang mendasari pernikahan Bu E? Apa yang membuat Bu E memilih Pak G? apa karena agama? Ilmu? Atau yang lain?
Beliau menjawab, ya…karena suka…karena cinta gitu aja. Saya tidak berpikir kedepannya bakal bagaimana, bagaimana, ya kalo saya suka ya suka aja.

Tapi setelah menjalani  bertahun-tahun, beliau sadar bahwa membuat mereka menjalani dan mempertahankan pernikahan ini, karena mereka yakin! Yakin adanya Alloh, yakin akan pertolongan Alloh, yakin akan kepulangan ke hadirat Alloh. Sehingga semua permasalahan yang dihadapi dengan sabar, bahkan mungkin mereka menghadapinya dengan tertawa bersama.

Perlu diketahui, selama hampir 12 tahun usia pernikahan mereka belum dikarunia momongan. Usaha-usaha untuk mendapatkan momongan mereka lakukan, mulai dari dokter sampai alternative bertahun-tahun tapi belum ada hasilnya. Sampai suatu ketika, ditengah keputusasaan, di tengah kepasrahan, di ‘keberhentian berharap’ pada bulan Oktober 2013, Bu E dinyatakan positif hamil. Subhanaallah… Allahu akbar!!!Alloh menunjukkan kuasanya di saat-saat tak terduga. Rasanya itu buah dari keyakinan dan kesabaran mereka selama ini . Selamat menunggu hari kelahiran Bu, always miss you:)



 
To be continue….