Cerita kedua, dari seorang teman guru
sebut saja Pak W, beliau adalah sosok yang saya kagumi. Entah untuk alasan apa,
apa karena beliau cerdas? Kompeten? Atau karena apa?
Sampai pada suatu siang, di jam
istirahat beliau cerita tentang bagaimana awal pernikahannya..
Pak W dan istri bertemu pada saat ada program KKN kampus, Pak
W jurusan Teknik Mesin dan istrinya Ekonomi Pembangunan. Interaksi selama KKN menumbuhkan
rasa-rasa yang sulit dimengerti, kebanyakan orang menyebutnya cinta. Pada saat
menikah usia Pak W 24 tahun. Usia 24 adalah usia yang
cukup muda untuk seorang laki-laki menikah, menurut saya.
Pak W yang pada saat itu mengambil
jurusan Teknik Mesin murni akhirnya memilih kuliah lagi ambil akta 4, agar bisa
ngajar. Karirnya dimulaai dari menjadi seorang GTT, ketika beliau menikah pun
masih menjadi GTT dengan gaji sekitar Rp 100 rban.
Saya tanya, kok Bisa ya Pak? Kenapa
Bapak begitu yakin untuk menikah dengan gaji yang terbatas? Beliau sampaikan,
yak karena ingin menikah saja. Bismillah saja. Subhannallah…betapa beliau
begitu mantap mengambil keputusan itu.
Setelah menikah rasanya pintu rezeki
terbuka begitu lebar, beberapa tahun setelah menikah ada pengangkatan Pegawai
Negeri dan Alhamdulillah diangkat. Saat itu juga beliau mulai dikarunia anak
pertama, yang sekarang sudah di kelas 2 SD. Beberapa tahun setelah pengangkatan,
mulailah ada kabar sertifikasi. Beliau pun segera mempersiapkan berkas-berkas
sertifikasi guru. Sebelum dinyatakan lulus sertifikasi, beliau sudah mengambil
kuliah Master Pendidikan. Kenapa? Karena
beliau mendapat informasi, kalau guru PN (yang sudah sertifikasi atau belum,
lebih jelasnya saya lupa) harus lulus S2, kalau tidak, maka di usia 50 tahun ia
akan dipensiun. Ya, lebih awal dari usia jabatan seharusnya.
Heuheu…rasanya mantap sekali, apapun
keputusan yang beliau ambil. Sampai sekarang beliau masih berkepala 3 tapi sudah menjadi guru sertifikasi, master pendidikan, dosen di salah satu universitas
swasta. Oia beliau juga sempat cerita kalo pernah ikut seleksi magang di
Jepang.
Hmm, kenapa saya jadi cerita karir
beliau ya? Hehehe. Back to topic dah…
Intinya, ketika beliau menikah, yang
dibutuhkan adalah keyakinan. Yakin untuk menikah. Yakin untuk mengambil
keputusan. Walaupun tak selamanya mulus, tapi yakin akan selalu ada jalan.
Sebenarnya ada banyak cerita
pernikahan di sekitar saya, tapi dua cerita tadi yang masih segar dalam ingatan
saya. Ya…karena belum lama saya dapatkan :D
Keyakinan
Itulah yang saya simpulkan dari 2
cerita sebelumnya dan beberapa cerita yang tidak saya tulis, bahwa orang
memutuskan dan mempertahankan menikah karena sama keyakinan. Ini bukan
keyakinan agama ya,kalau soal itu WAJIB sama. Tapi keyakinan bahwa sama-sama
akan bahagia, yakin untuk kehidupan yang lebih baik, yakin akan mampu
membahagiakan pasangan. Yakin mampu menghadapi setiap rintangan dengan
pasangan. Yakin.
Keyakinan ini bisa timbul karena
adanya presepsi yang sama akan suatu hal, istilahnya kesamaan visi. Karena kita
sevisi. Bisa juga karena melihat sifat
atau sikap yang membuat kita yakin, misalnya sikapnya yang bertanggung jawab
pada tugas. Atau mungkin tanpa alasan yang jelas, ketika bertemu yakin saja,
nggak tahu kenapa udah yakin aja. Feeling. Keyakinan atas nama Tuhan rasanya
lebih utama, bahwa pernikahan adalah salah satu cara untuk menjalankan
syariat-Nya. Keyakinan yang datangnya dari hati yang bersih, sehingga mudah
bagi Tuhan untuk memberikan petunjuk. Mudah bagi Tuhan menyisipkan macam-macam
rasa kepada hambanya, tak kecuali rasa yakin.
Membahagiakan
Keyakinan untuk bisa saling
membahagiakan, bukan hanya ingin dibahagiakan. Ketika tak ada hal itu, berarti beda 'keyakinan' donk... Kalau beda 'keyakinan' susah jalannya. Hohoho. Untuk saat ini, begitu pemahaman
saya.. :D
Dasar untuk menikah adalah keyakinan
untuk mampu saling membahagiakan, lebih spesifik lagi,
bahagia dunia maupun akhirat..:)